Langsung ke konten utama

MENGENANG KH MAKHTUM HANAN KIAI TEGUH DENGAN PRINSIP

 Ada kilasan kenangan bersama Romo KH. Makhtum Hannan, sesepuh Cirebon dan pendiri serta pengasuh Pondok Pesantren Masyariqul Anwar Babakan Ciwaringin Cirebon. Tidak lama sebelum beliau wafat, saya mengisi bedah buku “Islam Mazhab Cinta; Cara Sufi Memandang Dunia” bersama Kang Jamaluddin Muhammad, yang diadakan di Aula Pondok Pesantren Masyariqul Anwar Babakan, dan dihadiri ratusan santri beliau. Acara bedah buku ini ternyata ide dan inisiatif beliau, yang tujuannya adalah memberi wawasan lebih kepada para santri dan menanamkan kesadaran akan pentingnya menulis.


Setelah bedah buku usai, saya berkesempatan makan dan berbincang-bincang bersama beliau tentang banyak hal. Di antaranya tentang kesukaan beliau terhadap dunia tasawuf, mendiskusikan isi buku saya yang dibedah, kisah perlawanan terhadap pembangunan Tol, dan keinginan beliau yang kuat agar santrinya berwawasan luas. Dan salah satu topik yang dibicarakan adalah soal kematian sebagai salah satu tema yang ada di buku “Islam Mazhab Cinta”. Seakan sedang memberi isyarat, Kang Arsyad, salah satu putra Mama KH. Makhthum Hannan, mengatakan kepada saya kalau KH. Makhtum Hannan memesan satu eksemplar buku “Islam Mazhab Cinta” untuk dibaca. Saya merasa tersanjung dan terharu, ternyata beliau adalah sosok kiyai yang tawadhu’ (rendah hati) yang menghargai generasi muda. Dan saya merasa mendapatkan suntikan support untuk terus berkarya.

Pertemuan saya dengan beliau yang kedua kalinya, ketika saya berkesempatan mengikuti acara Bahtsul Masail Pondok Pesantren Se-Jawa dan Madura yang diadakan di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Saya pun kembali berkesempatan makan bersama dan berbincang-bincang serta mendiskusikan banyak hal dengan beliau. Dan ternyata, berbagai kegiatan dan acara yang bernuansa ilmiyah yang digelar di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin tidak lepas dari inisiatif, ide besar dan dukungan Romo KH. Makhtum Hannan. Ini sebuah representasi dari sosok kiyai visioner.

Dua kali secara intensif saya dapat ngobrol bareng bersama beliau. Kesempatan baik itu tidak saya sia-siakan. Sebab bagi saya, ini adalah momen yang sangat berharga bagi saya. Dan saya menyimak dan memahami bahwa beliau adalah sosok kiyai yang teguh pendirian dan idealis pada prinsip. Dalam menghadapi proyek raksas jalan Tol CIPALI (Cirebon-Palimanan) yang awalnya akan membelah lingkungan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, beliau menolaknya dengan tegar. Bersama para kiyai, keluarga besar, dan para santri, beliau memprotes keras kebijakan tersebut. Tidak sedikit dari kalangan pengembang dan pemerintah—baik local maupun pusat—meloby dan mendekati dengan berbagai iming-iming uang yang tidak sedikit agar beliau luluh dan mau mengalah agar Tol CIPALI tetap pada rancangan semula, yaitu membelah lingkungan Pesantren. Akan tetapi semua loby kandas, berbagai pendekatan tersungkur, dan semua iming-iming sedikit pun tak dapat menyentuh hatinya. Protes bembuahkan hasil, dan Tol akhirnya dipindah rutenya membelok dan tidak membelah lingkungan Pesantren.

Ketika sejumlah oknum tokoh masyarakat—baik formal maupun informal—sedang ramai meloby pemerintah agar mengucurkan sumbangan, beliau sebaliknya tampil sebagai tokoh yang menampik sumbangan dari pemerintah yang mempunyai modus agar keinginannya tercapai.

Jauh sebelumnya, ketika saya masih menjadi santri di Pesantren Babakan, saya teringat bahwa beliau adalah salah satu kiyai yang dipanggil dengan sebutan “Mama”, atau lebih tepatnya “Mama Tum”. Panggilan ini menyiratkan relasi kiyai dan santrinya seperti relasi ayah dan anak kandungnya sendiri. Sehingga tidak ada jarak dan menyiratkan sebentuk hubungan yang hangat. Panggilan “Mama” pun sebentuk panggilan yang membumi, sebab beliau bukan kiyai yang GR kalau dipanggil “kiyai”, apalagi panggilan yang berbau Arab seperti Walid, Abuya, atau Buya dan Syaikh yang belakangan sedang nge-trend di kalangan kiyai. Dengan kata lain, “Mama” adalah cermin dari Islam Nusantara.

Saya juga ingat, bahwa beliau adalah kiyai yang mensosialisasikan laga sepak bola api. Setiap tamatan MHS (Madrasah Hikamus Salafiyah), oleh beliau diberi amalan agar tangan dan kakinya tahan dan tidak terbakar ketika memegang bola api. Laga bola api digelar di akhir tahun Pondok Pesantren, yang diadakan di lapangan bola milik masyarakat umum Babakan Ciwaringin. Yang menyaksikan laga bola api bukan hanya kalangan santri, akan tetapi masyarakat setempat dan bahkan masyarakat Cirebon dan sekitarnya pun turut menyaksikan. Terkadang dibuka dengan laga seorang santri yang menyalakan petasan panjang yang melilit di tubuhnya. Sehingga, laga bola api dan petasan ini bukan sekedar laga dan adu kebolehan, akan tetapi juga sebagai syiar Islam sekaligus mempromosikan Pondok Pesantren Babakan. Lantaran yang berminat untuk melihatnya dari berbagai daerah.

Sebagai kiyai Pesantren, posisi beliau seperti KH. Maksum Jauhari (dikenal dengan panggilang Gus Maksum) di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, sama-sama sosok kiyai ahli hikmah yang mempunyai jaringan luas. Sebab yang datang ke rumah beliau dari berbagai kalangan, dari kalangan masyarakat biasa sampai kalangan pejabat, dari kalangan santri sampai masyarakat abangan. Dengan kata lain, beliau mempunyai dua kaki, kaki yang satu ada di dalam pesantren dan kaki yang lain ada di luar pesantren. Selain mempunyai santri, beliau pun mempunyai umat. Berbagai ritual keagamaan, seperti istighatsah yang diadakan masyarakat Cirebon pada umumnya—seperti istighatsah masyarakat Desa Tegalgubug Lor—adalah binaan beliau. Sehingga posisi beliau yang cukup strategis itu dapat mensosialisasikan Pesantren ke masyarakat luar. Beliau bisa memesantrenkan masyarakat sekaligus memasyarakatkan pesantren.

Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin khususnya dan Cirebon pada umumnya semakin berwibawa dan berkharisma salah satu faktornya adalah adanya beliau. Karenanya, masyarakat Cirebon sangat kehilangan dan berduka atas wafatnya beliau. Sembari berharap ada tokoh baru yang dapat meneruskan perujuangan beliau.

Sumber: https://rumahkitab.com/mengenang-kh-makhtum-hannan/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarinah Percayalah Engkau Tidak Sendiri

 Sarinah air matanya menggenang saat ia mengenang suami yang baru 100 hari meninggalkan untuk selamanya akibat kanker hati yang di deritanya. Ini adalah masa sulit Sarinah ia harus merawat dua anak lelaki hasil dari pernikahan. dari balik kaca spion tengah mobil Sarinah mengusap matanya dengan tisu sambil mengendong anak balitanya yanh sedang dipangkuan, sedang anak satunya lagi menikmati pemandangan dari samping kaca jendela. Hari ini adalah hari wisuda sebagai peserta hafalan Quran di sekolahnya. Sarinah semakin sedih saat anak pertamanya mau prosesi wisuda ia malah tiada padahal ini adalah cita-cita ayahnya ingin mempunyai anak yang mempunyai pendidikan agama yang mendalam. Kini dua anaknya yatim, Sarinah seorang diri merawat dan membesarkan kedua anaknya. Untung keluarga dari mendiang suaminya mendukung dan bertanggung jawab untuk tetap meninggali rumah orang tua mendiang suami bersama-sama anaknya.  Rasinah perempuan asal Medan, orang tuanya merantau ke Bogor dia sejak ke...

Tak Tahan Lagi Sarinah Ingin Mengakhiri

#2 Sarinah merasa hatinya tersayat-sayat saat mendengar cerita dari tetangga tentang dirinya, ia merasa kehadiran di rumah menjadi sumber masalah. Hatinya perih ia bertanya-tanya dalam lamunan, "kenapa mama tidak bilang langsung pada saya". Ia menyadari dialah bukan siapa-siapa pil pahit mau tidak mau harus di telan. Kata hatinya ia ingin memeluk mamahnya yang jauh di sana sambil menikmati tungku kayu bakar mengenang masa kecil di pojokan rumah panggung khas suku Melayu beratap seng karat yang bisa menghalau rasa dingin  juga beradaptasi dengan gempa. Selimut tebal mampu menyembunyikan rasa perih di depan anak-anak, sesekali ia menjelma tegar di depannya tapi hatinya begitu lemah dan pilu. Sarinah tak kuasa lagi bertahan di rumah mertua. Saat semuanya menjelma malaikat hati Sarinah begitu bahagia, kesedihan kehilangan suaminya sejenak menghilang, tapi saat mertuanya menjadi iblis rasa ingin keluar jauh-jauh dari rumah ini muncul kembali, yang membuat Sarinah bertahan hanyalah...